Islamic Business Law 08'

Catatan perkuliahan mahasiswa

Rahn/Gadai islam (kel. riana afliha-isnatul fitriyah)

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Rahn.
Menurut UU Perdata pasal 1150 gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepdanya oleh seorang yang berhutang atau oleh seseorang lain atas dirinya, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengeculaian biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.
Fiqh Islam mengenai perjanjian gadai yang disebut rahn, yaitu perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan hutang. Gadai (rahn) dapat diartikan pula sebagai perjanjian suatu barang sebagai tanggungan utang ini seluruh atau sebagian utang dapat diterima. Orang yang menyerahkan barang gadai tersebut rahin, orang yang menerima gadai disebut murtahin. Dan barang yang digadaikan disebut marhun. Selain itu terdapat pula shigat akad.
2.2. Sejarah Pegadaian Syariah.
Pegadaian syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama unit layanan syariah (ULGD) di Surabaya, Makassar, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, serta terdapat pula empat cabang kantor pegadaian di Aceh dikonversi menjadi pegadaian syariah mengacu pada administrasi modern, yaitu: azaz rasionalitas, efisiensi, dan evektivitas yang diselaraskan dengan nilai-nilai Islam. Fungsi operasi pegadaian syariah dijalankan kantir-kantor cabang pegadaian syariah atau unit layanan gadai syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional.
Pegadaian syariah bersifat mandiri dan tidak terpengaruh secara langsung oleh gejolak moneter, baik dalam negeri maupun internasional karena kegiatan, dengan mengenali kekuatan dari pegadaian syariah, maka kewajiban kita semua untuk terus mengembangkan kekuatan yang dimiliki perusahaan gadai dengan sistem ini.
Adanya pegadaian syariah yang telah disesuaikan agar tidak menyimpang dari ketentuan yang berlaku akan memperkaya khasanah lembaga keuangan di Indonesia. Iklim baru ini akan menarik penanaman modal di sektor lembaga keuangan khusunya IDB dan pemodal dari negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah. Konsep pegadaian syariah yang lebih mengutamakan kegiatan produksi dan perdagangan serta kebersamaan dalam hal investasi, menghadapi resiko usaha dan perekonomian Indonesia, khususnya dalam meningkatkan investasi, penyediaan kesempatan kerja, dan pemerataan pendapatan.
Perusahaan gadai dengan sistem syariah ini akan mempunyai segmentasi dan pangsa pasar yang baik sekali di Indonesia.Dengan sedikit modifikasi dan disesuaikan dengan ketentuan umum yang berlaku, peluang untuk dapat dikembangkannya pegadaian syariah cukup besar.
2.3. Rahn (Gadai) dalam Bank Islam.
Tujuan akad rahn adalah memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan. Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Milik nasabah sendiri,
- Jelas ukuran, sifat, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar,
- Dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank.
Atas izin bank, nasabah dapat menggunakan barang tertentu yang digadaikan dengan tidak mengurangi nilai merusak barang yang digadaikan. Apabila barang yang digadaikan rusak atau cacat, maka nasabah harus bertanggungjawab.
Apabila nasabah wanprestasi, bank dapat melakukan penjualan barang yang digadaikan atas perintah hakim. Nasabah mempunyai hak untuk menjual barang tersebut dengan seizin bank. Apabila hasil penjualan melebihi kewajibannya, maka kelebihan tersebut menjadi milik nasabah. Jika hasil penjualan tersebut lebih kecil dari kewajibannya, nasabah menutupi kekurangannya.
2.4. Rukun dan Syarat Transaksi Rahn (Gadai).
Setiap akad harus memenuhi syarat sah dan rukun yang telah ditetapkan oleh para ulama fiqh. Walaupun terdapat perbedaan mengenai hal ini, namun secara syarat sah dan rukun dalam menjalankan gadai adalah sebagai berikut:
- Rukun Gadai:
1. Shigat, adalah ucapan berupa ijab dan qabul.
2. Orang yang berakad, yaitu orang yang menggadaikan (rahin), dan orang yang menerima gadai (murtahin).
3. Harta atau barang yang dijadikan jaminan (marhun).
4. Hutang (marhun bih).
- Syarat Sah Gadai:
1. Shigat. Syarat shigat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan dengan masa yang akan datang.
2. Orang yang berakad. Baik rahin maupun murtahin harus cakap dalam melakukan tindakan hukum, baligh dan berakal sehat, serta mampu melakukan akad. Bahkan menurut ulama Hanafiyah, anak kecil yang mumayyiz dapat melakukan akad, karena ia dapat membedakan yang baik dan buruk.
3. Marhun bih. Harus merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin, merupakan barang yang dapat dimanfaatkan, jika tidak dapat dimanfaatkan, maka tidak syah; barang tersebut dapat dihitung jumlahnya.
4. Marhun. Harus berupa harta yang bisa dijual dan nilainya seimbang dengan marhun bih; marhun harus mempunyai nilai dan dapat dimanfaatkan; harus jelas dan spesifik; marhun itu secara sah dimiliki oleh rahin; merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat.

2.5. Hak dan Kewajiban pihak Penerima Gadai (Murtahin).
1. Hak Murtahin (Penerima Gadai):
a. Pemegang gadai berhak menjual berhak marhun apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Hasil penjualan barang gadai (marhun) dapat digunakan untuk melunasi pinjaman (marhun bih) dan sisanya dikembalikan kepada rahin.
b. Pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan marhun.
c. Selama pinjaman belum dilunasi, pemegang gadai berhak menahan barang gadai yang diserahkan oleh pemberi gadai (nasabah/rahin).
2. Adapun kewajiban penerima gadai (murtahin) adalah:
a. Penerima gadai bertanggung jawab atas hilang atau merosotnya barang gadai, apabila hal itu disebabkan oleh kelalaiannya.
b. Penerima gadai tiak boleh menggunakan barang gadai untuk kepentingan sendiri.
c. Penerima gadai wajib memberitahukan kepada pemberi gadai sebelum diadakan pelelangan barang gadai.
3. Hak dan Kewajiban Rahin (Pemberi Gadai)
a. Hak pemberi gadai adalah:
a) Pemberi gadai berhak mendapatkan kembali barang gadai, setelah ia melunasi pinjaman.’
b) Pemberi gadai berhak menuntut ganti kerugian dari kerusakan dan hilangnya barang gadai, apabila hal itu disebabkan kelalaian penerima gadai.
c) Pemberi gadai berhak menerima sisa hasil penjualan barang gadai setelah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya.
d) Pemberi gadai berhak meminta kembali barang gadai apabila penerima gadai diketahui menyalahgunakan barang gadai.
b. Kewajiban pemberi gadai:
a) Pemberi gadai wajib melunasi pinjaman yang telah diterimanya dalam tenggang waktu yang ditentukan, termasuk biaya-biaya yang ditentuykan oleh penerima gadai.
b) Pemberi gadai wajib merelakan penjualan atas barang gadai miliknya, apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan pemberi gadai tidak dapat melunasi pinjamannya.
2.6. Dasar Hukum Rahn.
Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasa’i dan Ibnu Majah dari Anas RA ia berkata:
رهن رسول الله ص م درعاعنديهودى بالمدينةواخذمنه شعيرالاهله
“Rasulullah SAW merungguhkan baju besi kepada seorang Yahudi di Madinah ketika beliau mengutang gandum dari seorang Yahudi.”
Dari hadits diatas dapat dipahami bahwa di dalam Islam tidak membeda-bedakan antara orang muslim dan non-muslim dalam bidang muamalah, maka seorang nuslim tetap wajib membayar utangnya sekalipun kepada non-muslim.
Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil manfaat suatu barang gadaian, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal itu termasuk kepada utang yang dapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba. Rasul bersabda:
قرض جر منفعة فهو ربا (رواه الحرث بن ابى اسامة) كل
“Setiap utang yang menarik manfaat adalah termasuk riba” (HR. Harits bin Abi Usamah).
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits dan al-Hasan bahwa jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mangambil manfaat dari kedua jenis barang gadai tersebut, disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya.
اذاكانمرهوناولبن الدريشرب اذا كان مرهوناو على الذى يركب و يشرب نفقته (رواه البخرى) الظهريركب
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiayaannnya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiayaannya bila digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya.”
Kemudian di dalam terjemahan ringkasan kitab Shahih al-Bukhari terdapat beberapa hadis tentang agdai yang disebutkan dalam kitab jual-beli, yaitu:
4.Bab: Gadai (Meninggalkan Sesuatu Sebagai Jaminan) Itu Boleh Dinaiki dan Diperah Susunya.
وقال مغرة عن ابرهم: تر الضالة بقد ر علفها تحل بقد ر علفها
534. Mughirah berkata dari Ibrahim. “Hewan yang hilang itu boleh dinaiki seukuran ia diberi makan, dan boleh diperah seukuran ia diberi makan.”
و الرهن مثله
535. Gadai juga seperti itu


عن ابي هريرة قال : قال رسول لله : الظهريركب بنفقته اذا كان مرهونا و لبن الدر يشرب بنفقته اذا كان مرهونا و على الذي يركب و يشرب النفقة
1147. Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Punggung hewan boleh dinaiki sebab memberinya nafkah bila ia digadaikan. Air susu yang mengalir itu boleh diminum sebab memberinya nafkah bila ia digaidaikan. Bagi orang yang menaiki dan yang meminum wajib menafkahi.”
5. Bab: Bila Orang yang Menggadaikan, Penerima Gadai dan yang Lainnya Berselisih, Maka Bukti Harus Ditunjukkan Oleh Penuduh dan Sumpah Itu Wajib Bagi yang Tertuduh.
عن ابن ابي مليكة قال: كتبت الى ابن عباس فكت الي ان النبي قضي ان اليمين على المد عى عليه
1148. Dari Ibnu Abu Mulaikah, ia berkata: “Aku menulis surat kepada Ibnu Abbas, lalu ia membalas surat kepadaku, bahwa Nabi SAW memutuskan sumpah itu wajib bagi yang tertuduh.”
Hal inipun dipertegas dengan amalan Rasululloh yang melakukan pergadaian sebagaimana dikisahkan umul mukminin A’isyah dalam pernyataan beliau:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
Sesungguhnya Nabi Shalallaahu alaihi wasalam membeli dari seorang yahudi bahan makanan dengan cara hutang dan menggadaikan baju besinya. (HR Al Bukhori no 2513 dan Muslim no. 1603).
2.6.1. Hukum-hukum setelah serah terima.
Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah terima yang berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai dan pemanfaatan serta jaminan pertanggung jawaban bila rusak atau hilang, diantaranya:

1. Pemegang barang gadai
Barang gadai tersebut berada ditangan Murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah:
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانُُ مَّقْبُوضَةُُ
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).(QS. 2:283) dan sabda beliau:
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum memberi nafkahnya. (Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi).
2. Pembiayaan pemeliharaan dan pemanfaatan barang gadai
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (Raahin) dan Murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam pemeliharaan barang tersebut). Pemanfaatannya tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan sabda Rasululloh SAW :
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum memberi nafkahnya. (Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi).
Syeikh Al Basaam menyatakan: Menurut kesepakatan ulama bahwa biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya.
Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga miliknya kecuali dua pengecualian ini (yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas (pen)).
Penulis kitab Al Fiqh Al Muyassar menyatakan: Manfaat dan pertumbuhan barang gadai adalah hak pihak penggadai, karena itu adalah miliknya. Tidak boleh orang lain mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan murtahin (pemberi hutang) untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan dan hutang gadainya dihasilkan dari peminjaman maka tidak boleh, karena itu adalah peminjaman hutang yang menghasilkan manfaat. Adapun bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, mak diperbolehkan murtahin mengendarainya dan memeras susunya sesuai besarnya nafkah tanpa izin dari penggadai karena sabda Rasululloh:
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
Al Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah apabila digadaikan dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya nafkah. (HR Al Bukhori no. 2512). Ini madzhab Hanabilah. Adapun mayotitas ulama fiqih dari hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah mereka memandang tidak boleh murtahin mengambil manfaat barang gadai dan pemanfaatan hanyalah hak penggadai dengan dalil sabda Rasululloh:
لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غَرَمُهُ
Ia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya biaya pemeliharaannya. (HR Al daraquthni dan Al Hakim)
Tidak mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan danhewan perah sesuai nafkahnya kecuali Ahmad dan inilha yang rojih Insya Allah karena hadits shohih tersebut.
Ibnul Qayyim memberikan komentar atas hadits pemanfaatan kendaraan gadai dengan pernyataan: Hadits ini dan kaedah dan ushul syari’at menunjukkan hewan gadai dihormati karena hak Allah dan pemiliknya memiliki hak kepemilikan dan murtahin (yang memberikan hutang) memiliki padanya hak jaminan. Bila barang gadai tersebut ditangannya lalu tidak dinaiki dan tidak diperas susunya tentulah akan hilang kemanfaatannya secara sia-sia. Sehingga tuntutan keadilan, analogi (Qiyas) dan kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (murtahin) dan hewan tersebut adalah Murtahin mengambil manfaat mengendarai dan memeras susunya dan menggantikannya dengan menafkahi (hewan tersebut). Bila murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah maka dalam hal ini ada kompromi dua kemaslahatan dan dua hak.
2.7. Gadai Dalam Perjalanan.
Demikian juga para ulama bersepakat menyatakan pensyariatan Al Rahn ini dalam keadaan safar (perjalanan) dan masih berselisih kebolehannya dalam keadaan tidak safar. Imam Al Qurthubi menyatakan: Tidak ada seorangpun yang melarang Al Rahn pada keadaan tidak safat kecuali Mujaahid, Al Dhohak dan Daud (Al Dzohiri).[8] Demikian juga Ibnu Hazm.
Ibnu Qudamah menyatakan: Diperbolehkan Al rahn dalam keadaan tidak safar (menetap) sebagaimana diperbolehkan dalam keadaan safar (bepergian). Ibnul Mundzir menyatakan: Kami tidak mengetahui seorangpun yang menyelisihi hal ini kecuali Mujahid, ia menyatakan: Al Rahn tidak ada kecuali dalam keadaan safar, karena Allah l berfirman:
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).
Namun benar dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama dengan adanya perbuatan Rasululloh SAW diatas dan sabda beliau:
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
Al Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah apabila digadaikan dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya nafkah. (HR Al Bukhori no. 2512). Wallahu A’lam. Pendapat ini dirojihkan Ibnu Qudamah, Al Hafidz Ibnu Hajardan Muhammad Al Amien Al Singqithi
Setelah jelas pensyariatan Al Rahn dalam keadaan safar (perjalanan), apakah hukumnya wajib dalam safar dan mukim atau tidak wajib pada keseluruhannya atau wajib dalam keadaan safar saja? Para ulama berselisih dalam dua pendapat.
1. Tidak wajib baik dalam perjalanan atau mukim. Inilah pendapat Madzhab imam empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah).
Berkata Ibnu Qudamah: Al Rahn tidak wajib, kami tidak mengetahui orang yang menyelisihinya, karena ia adalah jaminan atas hutang sehingga tidak wajib seperti Dhimaan (jaminan pertanggung jawaban)
Dalil pendapat ini adalah dalil-dalil ang menunjukkan pensyariatan Al rahn dalam keadaan mukim diatas yang tidak menunjukkan adanya perintah sehingga menunjukkan tidak wajibnya.
Demikian juga karena Al rahn adalah jaminan hutang sehingga tidak wajib seperti Al Dhimaan (Jaminan oertanggungjawaban) dan Al Kitabah (penulisan perjanjian hutang) dan juga karena ini ada ketika sulit melakukan penulisan perjanjian hutang. Bila Al Kitaabah tidak wajib maka demikian juga penggantinya.
2. Wajib dalam keadaan safar. Inilah pendapat Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah:
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).
Mereka menyatakan bahawa kalimat (maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)) adalah berita bermakna perintah. Juga dengan sabda Rasululloh SAW :
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
Semua syarat yang tidak ada dikitabullah maka ia bathil walaupun seratus syarat. (HR Al Bukhori).
Mereka menyatakan: Pensyaratan Al Rahn dalam keadaan safar ada dalam Al Qur’an dan diperintahkan, sehingga wajib mengamalkannya dan tidak ada pensyaratannya dalam keadaan mukim sehingga ia tertolak.
Pendapat ini dibantah bahwa perintah dalam ayat tersebut bermaksud bimbingan bukan kewajiban. Ini jelas ditunjukkan dalam firman Allah setelahnya:
Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) (QS. 2:283). Demikian juga pada asalnya dalam transaksi mu’amalah adalah kebolehan (mubah) hingga ada larangannya dan disini tidak ada larangannya.
2.8. Hikmah Persyariatan.
Setiap orang berbeda-beda keadaannya, ada yang kaya dan ada yang miskin, padahal harta sangat dicintai setiap jiwa. Lalu terkadang seorang disatu waktu sangat butuh kepada uang untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak dan tidak mendapatkan orang yang bersedekah kepadanya atau yang meminjamkan uang kapadanya, juga tidak ada penjamin yang menjaminnya. Hingga ia mendatangi orang lain membeli barang yang dibutuhkannya dengan hutang yang disepakati kedua belah pihak atau meminjam darinya dengan ketentuan memberikan jaminan gadai yang disimpan pada pihak pemberi hutang hingga ia melunasi hutangnya.
Oleh karena itu Allah mensyariatkan Al Rahn (gadai) untuk kemaslahatan orang yang menggadaikan (Raahin), pemberi hutangan (Murtahin) dan masyarakat.
Untuk Raahin ia mendapatkan keuntungan dapat menutupi kebutuhannya. Ini tentunya bias menyelamatkannya dari krisis dan menghilangkan kegundahan dihatinya serta kadang ia bias berdagang dengan modal tersebut lalu menjadi sebab ia menjadi kaya.
Sedangkan Murtahin (pihak pemberi hutang) akan menjadi tenang dan merasa aman atas haknya dan mendapatkan keuntungan syar’I dan bila ia berniat baik maka mendapatkan pahala dari Allah.
Adapun kemaslahatan yang kembalai kepada masyarakat adalah memperluas interaksi perdagangan dan saling memberikan kecintaandan kasih saying diantara manusia, karena ini termasuk tolong meniolong dalam kebaikan dan takwa. Disana ada manfaat menjadi solusi dalam krisis, memperkecil permusuhan dan melapangkan penguasa.

0 comments:

Post a Comment